News Details

  • 17-09
  • 2016

KEBAKARAN HUTAN VS. KEBAKARAN GEOLOGI

Permasalahan besar negara Indonesia dalam menghadapi El-Nino 2015 memberikan dampak yang luar biasa. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kebakaran lahan dan hutan tahun ini mencapai 1,7 juta Ha dan memberi dampak terkena kabut asap sebesar 43 juta jiwa terpapar asap, lebih dari 500 ribu jiwa terkena ISPA dan menyebabkan 12 orang meninggal dunia. Indeks Standar Pencemaran Udara di kota-kota besar di Sumatra dan Kalimantan sudah diatas angka 500 berarti sudah masuk katagori berbahaya bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Nilai kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 2 Trilyun. Kebakaran ini memberikan dampak langsung melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat serta transportasi khususnya penerbangan serta mengancam generasi muda potensial karena diduga para dokter dapat merusak syaraf otak, kanker paru dan autisme.

Titik-titik panas (hotspot) semula muncul pada bulan februari 2015 yang bersifat lokal dan terbesar pada bulan Juli-Oktober 2015 yang sudah meluas, dapat dibayangkan apabila saat turun hujan baru di bulan desember 2015 Januari 2016 tentu bencana akan terus berlanjut. Jika kita bandingkan dengan kebakaran hutan pada tahun 1998 menunjukkan data statistik yang dikeluarkan BMKG tentang kemungkinan peristiwa  El Nino sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Kebakaran hutan tahun 2015 ini menurut peneliti Basis Data Emisi Kebakaran Global (GFED) sudah merupakan bencana global karena telah mengeluarkan emisi gas karbon dioksida CO2 lebih dari 1.472 juta metrik ton gas karbon, yang berarti telah melampaui rata-rata emisi karbon negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang.  Menurut Global Forest Watch Fires sudah sekitar 52% kebakaran terjadi di lahan gambut. Padahal menurut World Resources Institute gambut adalah penyimpan jumlah karbon tertinggi di muka bumi sedangkan kebakaran di lahan gambut akan menyebabkan lepasnya sejumlah besar karbon secara signifikan. Titik-titik panas (hotspot) nampak muncul sejak bulan februari 2015 dan terbesar terbesar muncul pada bulan Juli-Oktober 2015, oleh mengingat jumlah titik-titik kebakaran (hotspot) sudah demikian besar dan tak terkendali.

Pertanyaan mendasarnya tentu semua orang akan bertanya apa penyebab kebakaran yang luar biasa ini. Apakah semata-mata karena El-Nino yang sudah menjadi suatu gejala alam rutin bagi negara kita atau ada penyebab lain sebagai faktor memperbesar kebakaran tersebut sehingga penyebaran titik api (hotspot) yang demikian banyak? Berdasarkan laporan mencapai ribuan titik api yang menyebar di Sumatra dan Kalimantan.

Sebagai explorer sudah lebih dari 20 tahun selalu keluar masuk hutan, dan tentu saja selalu mengamati keberadaan hutan karena bahan tambang, mineral, dan migas yang dicari hampir seluruhnya berada di bawah hutan. Dikala sedang asyik melakukan pemetaan geologi secara kebetulan saja (Yang Maha Kuasa memperlihatkan ) mengamati secara empiris di tengah hutan Kalimantan Timur bagaimana terjadinya suatu peristiwa “Kebakaran Geologi“.

Memang ada terminologi ‘kebakaran Geologi’? Sebenarnya terminologi ini muncul begitu saja di benak penulis begitu melihat peristiwa terbakarnya salah satu lapisan geologi terlihat dalam keadaan membara dan mengeluarkan asap, yakni terbakarnya batubara (seam coal) padahal posisi tersebut hutan di sekitar batubara tersebut tidak ada yang terbakar.

Pengamatan daerah batubara terbakar tersebut nampak pula ada cairan ter (aspal) yang mencair pada bagian lapisan batupasir tipis yang berada dibawahnya. Kemungkinan pula didalam batu pasir tersebut terdapat rembesan hidrokarbon berupa minyak atau aspal. Logikanya jika ada rembesan hidrokarbon bertemu udara dan lebih lagi ada api dari kebakaran hutan bisa menyebabkan api akan menjalar kebawah tanah. Dari sinilah penulis mulai tertarik untuk melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan mengapa batubara terbakar?

Setelah membuat pemetaan geologi disekitar tersebut dan membuat penampang geologi, maka penulis secara sepontan berfikir : “Lho ini sih bukan kebakaran hutan tetapi “kebakaran geologi” namanya karena yang terbakar adalah dibagian bawah tanah (underground) bukan pepohonan di atas tanahnya.

Kasus ‘kebakaran geologi’ dalam perspektif batubara terbakar ini perlu dikemukakan mengingat hampir seluruh kebakaran berada di Sumatra dan Kalimantan terdapat batubara di bawah hutannya. Jangan dibayangkan seperti kebakaran pepohonan tetapi kebakaran batubara ini berupa asap yang mengepul keluar dari lapisan batubara yang membara, sekalipun daerah tersebut tidak ada  kebakaran hutan dan pula gambut di atasnyapun dalam keadaan basah tidak terbakar.

Dari sinilah kami mulai meneliti penyebab kebakaran batubara dengan merekonstruksi arah lapisan geologi batubara (strike/dip). Setelah melakukan mapping dan rekonstruksi barulah kami menelusuri di mana pusat kebakaran. Didapatlah penampang irisan geologi vertikal seperti gambar di bawah ini. Setelah itu kami melakukan scanning dengan teknologi georadar atau dikenal sebagai “Ground Penetrating Radar (GPR) serta melakukan pemboran dangkal di sekitar wilayah terbakar.

Berdasar penelitian awal kami ini, kami dapatkan bahwa ada beberapa tipe pola kebakaran hutan yaitu:

Pertama, Hanya gambut yang terbakar; hal ini pada umumnya terjadi pada daerah hutan yang telah terbuka dalam arti sudah tidak ada pepohonan yang besar diatasnya. Dalam tipe ke-1 ini pada umumnya terbakar hanya hutannya saja. Dalam kasus tipe-1 ini, penanggulangan kebakaran mudah, bisa dilakukan dengan siraman air, chemical, atau water bombing masih efektif.

Kedua, gambutnya dalam keadaan tidak terbakar tetapi justru batubaranya yang berada posisi dibawahnya terbakar. Dari citra georadar terlihat sekali bahwa perbedaan tipikal sifat fisika batubara yang telah terbakar dengan gambut yang belum terbakar yakni terjadi; reflection discontinuity atau horizon terputus-terputus atau no reflection. Dari kasus ini tampak bahwa batubara dapat terbakar bagaikan “merokok” di bawah tanah dan akan terus menjalar sepanjang perlapisan batubara (seam coal). Kondisi ini menghasilkan kebakaran hutan seperti hotspot-2 dan atau hotspot-3 yang kedudukannya jauh dari daerah penemuan pertama kebakaran batubara tetapi hutannya tidak terbakar.

Jadi penulis duga kebakaran hutan dapat menyebabkan kebakaran batubara dan gambut yang berada di bawahnya. Begitupun sebaliknya, kebakaran batubara dan atau gambut dapat menjalar seperti layaknya ‘merokok’ menghasilkan ‘hotspot’ baru yang dapat membakar hutan diatasnya. Kasus ini hanya mungkin terjadi untuk batubara yang dangkal artinya permukaan batubara masih berhubungan dengan udara atau gambut yang mengandung oksigen. Kemungkinan peristiwa “merokok” pada batubara ini tidak terjadi pada posisi yang dalam. Dalam penelitian awal ini kami belum mengetahui persis kedalaman berapa sesungguhnya batubara (lapisan batubara-2) yang telah terbakar masih dapat membara.

Dalam penanggulangan kebakaran hutan kasus tipe ke-2 ini siraman air, chemical atau water bombingefektif bisa dilakukan untuk memecahkan kasus kebakaran hutannya saja tetapi tidak efektif untuk memecahkan kebakaran batubara yang berada di bawah tanahnya.

Ketiga, gambut dan batubara telah terbakar, berarti penetrasi kebakaran sudah jauh meluas baik di permukaan maupun batubara dibawahnya turut terbakar.  Pada hotspot-3 terlihat dari citra georadar sebagian gambut telah terbakar. Jika melihat posisinya tampak gambut disini ikut terbakar karena batubaranya terbakar terlebih dahulu. Tipe ini tampaknya kebakaran sudah meluas dan susah dikendalikan. Dalam kasus ke-3 ini, penanggulangan bencana dengan siraman air, chemical atau water bombingbenar-benar tidak efektif.

[caption id="attachment_2446" align="alignnone" width="480"]gambar-1-penampang-geologi-hotspot-dan-hasil-pencitraan-georadar-serta-parit-penanggulangan Penampang Geologi, hotspot, dan hasil pencitraan Georadar serta parit penanggulangan.[/caption]

 Rekomendasi Penanggulangan bencana Kebakaran

Berdasarkan penelitian ini, kami berpendapat bahwa penanggulangan bencana kebakaran hutan tidak cukup efektif dengan water bombing apabila kebakaran hutan telah disertai kebakaran gambut, terlebih lagi jika lapisan batubara di bawahnya telah terbakar. Untuk memastikan penyebaran batubara terbakar dengan yang masih utuh dapat memanfaatkan teknologi georadar untuk melakukan pemetaan kebakaran di bawah hutan. Setelah kita mengetahui keadaan bawah permukaan daerah yang terbakar secarasederhana diusulkan untuk membuat parit sepanjang jalur kebakaran bawah tanah yang sangat berguna untuk memutuskan ‘merokok’nya batubara. Dengan demikian kebakaran hutan melalui jalan bawah tanah dapat dihentikan, hotspot baru tidak terbentuk dan kebakaran tidak meluas.

Terlihat dalam kasus tersebut kebakaran batubara terdalam adalah sampai sekitar 3-7 meter.Dengan demikian teknologi georadar ini sebenarnya dapat dikembangkan untuk mencari tahu apakah gambut tersebut terbakar secara alamiah atau dibakar dengan sengaja oleh manusia?Perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami fenomena keterkaitan antara ‘kebakaran hutan’ dan ‘kebakaran geologi’ ini dengan baik.Wallahu’alam bi shawab.@

Teuku Abdullah Sanny

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB)

Sumber: Berita IAGI-VII, hal 22-24 (2015)