News Details

  • 17-09
  • 2016

KONTROVERSI PENGEBORAN LAPINDO

Hari itu, Rabu, 6 Januari 2016 sekitar 500 aparat keamanan terdiri atas polisi dan tentara berdiri tegap berjejer. Sebagian berjaga di lokasi titik rencana pengeboran di Sumur Tanggulangin 1. Sisanya berjaga di sejumlah titik di sepanjang Jalan Raya Tanggulangin hingga Desa Kedungbanteng. Jalan ini rencananya sebagai akses alat berat untuk keperluan pengeboran pengembangan sumur migas PT Lapindo Brantas Inc.

Keberadaan aparat memunculkan penolakan warga masyarakat Desa Kedungbanteng, Desa Banjarsari dan sekitarnya. Warga khawatir akan terjadi lagi bencana semburan lumpur seperti yang pernah terjadi selama pengeboran Sumur Banjarpanji 1 pada 29 Mei 2006, yang telah menenggelamkan tak kurang dari 16 desa di empat kecamatan.  Dan  menyengsarakan ribuan warga.

Kepada wartawan awal Januari lalu, Manajer Area Lapindo Brantas Harzah Harjana mengatakan tahun ini Lapindo akan melakukan pengeboran untuk mendapatkan gas di Sumur Tanggulangin 1 dan Sumur Tanggulangin 2 di Desa Kedungbanteng. Selama dua bulan awal tahun ini,  perusahaan telah menyiapkan semua pasarana, termasuk rig. Maret, menjadi awal target pengeboran untuk mendapatkan 5 MMSCD (million standard cubic feet per day) atau 5 juta standar kaki kubik per hari.

Saat ini, Lapindo mengklaim telah mendapatkan lampu hijau untuk melakukan pengeboran. Hal ini dipertegas Menteri ESDM Sudirman Said di hadapan anggota DPR RI, bahwa Bupati Sidoarjo sudah memberikan Ijin Lingkungan. Demikian pula SKK Migas telah memberikan persetujuan  atas rencana kerja dan anggaran. Hanya Dirjen Migas yang belum memberikan kajian dari sisi teknis dan keamanan.

Tapi sayangnya ada yang perlu dipertanyakan pada Ijin Lingkungan yang dikeluarkan Bupati Sidoarjo. Di dalam Ijin Lingkungan, Nomor 188/985/404.1.3.2/2015, pada Bab Menimbang, Butir 5 menyebutkan "......(Lampiran Surat IAGI Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Berita Acara)". Butir 5 ini mengesankan bahwa IAGI mendukung atau ikut memberikan rekomendasi. Padahal kenyataannya IAGI, baik Pengurus Pusat maupun Pengurus Daerah  Jawa Timur tidak pernah mengeluarkan surat bernada dukungan tersebut.

Pengurus Pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) secara resmi telah membuat surat berisi  klarifikasi dan bantahan atas Surat Keputusan Ijin Lingkungan Bupati Sidoarjo terkait dengan pencantuman nama IAGI dalam surat tersebut. menyatakan  tidak pernah mengeluarkan surat apapun terkait dengan ijin lingkungan. Selain itu, IAGI juga tidak pernah terlibat selama pembahasan ijin lingkungan.Juga ditegaskan, jika ada anggota IAGI yang terlibat dalam pembahasan ilmiah, keberadaan yang bersangkutan tidak mewakili organisasi.

Untuk kepentingan semua pihak, IAGI menyikapi masalah ini dengan menyarankan agar sebelum melakukan pengeboran, terlebih dahulu dilakukan studi dan riset terkini atas fenomena geologi semacam semburan lumpur Sidoarjo. Sejak terjadi semburan lumpur pertama di 2006 (dalam rentang sekitar 10 tahun) diyakini telah terjadi kejadian geologi bawah permukaan di sekitar area semburan, utamanya berkembangnya struktur-struktur geologi baru.

Dari temuan data terbaru dapat dipakai untuk melakukan prognosis apakah pengeboran baru akan memicu semburan lumpur yang lain. Di sisi lain, sosialisasi kepada masyarakat sekitar harus dilakukan secara terbuka sebelum pengeboran dilakukan. Dengan begitu keputusan-keptususan penting apalagi yang sensitif terhadap masalah lingkungan dan sosial harus berdasar atas data-data dan evaluasi terkini.

Imam Setiaji, pengajar  Pascasarjana Geofisika Reservoir Universitas Indonesia  setuju bahwa pengeboran kembali di kawasan semburan lumpur Sidoarjo harus dilakukan secara matang. Termasuk diperlukan kajian seismik untuk melihat perubahan geometri maupun keadaan dinamika bawah permukaan, dan dinamika tekanan paska erupsi. ‘’Di situ membutuhkan data baru, karena data lama pasti sudah tidak ada relevansinya,’’ kata Imam Setiaji.

Hal senada juga dikemukakan Andang Bachtiar, Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN). Menurut Andang perlu kajian teknis seismik untuk memastikan kondisi di bawah permukaan agar semburan lumpur yang terjadi satu dekade lalu tidak terulang. Lapindo Brantas harus melakukan biaya ekstra untuk melakukan survei seismik dengan lebih detail, toh nantinya juga dapat diklaim sebagai cost recovery.

Andang menambahkan selain kajian teknis yang tidak kalah penting adalah kajian sosial. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh semburan lumpur sebelumnya sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Sebagian hidup mereka terampas oleh ketidakpastian yang dirasakan selama bertahun-tahun.

Melihat banyaknya keberatan dari masyarakat dan para ahli geologi maupun ahli masalah sosial, Kementerian ESDM mengintruksikan agar rencana pengeboran dihentikan sementara. Dinas ESDM Jawa Timur sendiri kemudian membentuk Tim Kajian Teknis, Sosial, dan Ekonomi Pengeboran PT Lapindo Brantas. Kepala Pusat Studi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS, Amien Widodo, geolog alumni UGM, telah  ditunjuk sebagai Ketua Tim.

‘’Target kerja kami tiga bulan,’’ kata Amien kepada Berita IAGI. Pekerjaan dimulai dari pengumpulan data sekunder, melakukan berbagai kajian sesuai bidang yang dibagi dalam beberapa tim, sampai pada penyusunan laporan. Tim terdiri atas Ketua dan di bawahnya ada Tim Ahli Geofisika, Tim Ahli Geomatika, Tim Ahli Survey Sosial Ekonomi,  dan Tim Ahli Asesmen Risiko. Seluruh anggota tim berjumlah 35 orang.

Anggaran tim sekitar Rp 1 miliar, berasal dari Pemprov Jawa Timur. Dengan anggaran dari Pemprov, Amien menjamin bahwa tim akan bekerja secara independen, steril dari intervensi atau permintaan pihak manapun. Independensi tim ini sangat penting mengingat sensitivitas dari rencana pengeboran Lapindo di Sidoarjo. Laporan tim ini sekaligus juga akan menghilangkan tradisi catut mencatut nama lembaga.@

Sumber: Berita IAGI-VII, halaman 16 dan 17