News Details

  • 21-09
  • 2016

GEOLOG DAN REKLAMASI JAKARTA

Setelah Indonesia merdeka selama 71 tahun, baru sekarang Indonesia memiliki gubernur geolog, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, lulusan Teknik Geologi Trisakti angkatan 1984.

Gubernur kontroversial ini banyak memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Tapi yang menarik adalah dia selalu membanggakan kegeologiannya. Masalah penataan kali Ciliwung misalnya, dia dituduh tidak paham tentang pemasangan sheet pile yang tidak ramah lingkungan. ‘’Saya ini geolog. Enggak terlalu jelek ilmu geologi saya,’’ kata Basuki.

Berikutnya ketika digugat soal kawasan Sunter yang menurut pengamat harus menjadi daerah resapan, apa kata Ahok? ‘’Aku anak geologi, Sunter bukan daerah resapan.’’ Lantas ketika oleh pengamat diminta rumahnya di Pluit dibongkar untuk dijadikan wilayah resapan, Ahok menjawab, ‘’ Saya ini anak geologi. Wilayah Jakarta Utara bukan daerah resapan. Gimana bikin resapan, gali setengah meter saja udah air laut kok?’’

Terakhir soal reklamasi. Di tengah ramainya silang pendapat soal reklamasi, baik dari sisi korupsi sampai masalah lingkungan, Ahok dengan lantang mengatakan, ‘’Reklamasi  itu keniscayaan, saya orang geologi lho..’’

Begitulah Ahok. Kegeologiannya selalu diperlihatkan ketika berbicara tentang bumi Jakarta. Meskipun menurut mantan ketua IAGI Prof. Lambok Hutasoit, sebetulnya Ahok sudah bukan geologi murni lagi. ‘’Dia katakan ke saya ‘I was a geologist’ jadi pakai ‘was’, berarti lampau,’’ kata Lambok. Jadi Ahok sudah condong sebagai ke politisi daripada geolog.

Meski begitu Lambok tetap setuju dengan pandangan Ahok terkait reklamasi Jakarta. ‘’Reklamasi tidak masalah,’’ katanya saat menjadi pembicara dalam diskusi ‘Geolog Mengupas Reklamasi Jakarta Utara’ yang diselenggarakan IAGI di Jakarta,  14 Juni 2016 silam. Dalam makalahnya Lambok lebih banyak mengulas masalah amblesan, sehingga dalam reklamasi dia juga mewanti-wanti potensi  amblesan di wilayah reklamasi.

Untuk itu Lambok mengusulkan dilakukan pemboran di laut untuk mengetahui seberapa besar potensi amblesan. Hal lain yang perlu didiskusikan terkait amblesan ini adalah pengambilan fluida (migas dan air) berikut cara mengatasinya. Selain itu juga, bagaimana prediksi besaran penurunan tanah di masa depan.

Dalam kesempatan yang sama, potensi amblesan di wilayah reklamasi juga diingatkan oleh Riza Rahardiawan, peneliti dari Puslitbang Geologi Kelautan. Dari hasil seismik yang dilakukan, terdapat zona yang belum begitu jelas di bagian tengah dan timur teluk Jakarta. Di wilayah itu terdapat potensi penurunan sifat fisik (geotechnical properties) sedimen akibat terbentuknya sistem patahan poligonal (Poligonal Fault System, PFS) dan gas charged sediment (pelepasan gas dari sedimen).

Bagi Prof. Otto Ongkosongo, ahli geologi yang menjadi anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional, reklamasi bukan hal yang luar biasa.  ‘’Reklamasi sangat umum dilakukan oleh negara-negara maju, bahkan negara berkembang, terutama di negara-negara pantai (coastal states),’’ kata Otto.

Beberapa negara yang sudah lama melakukan reklamasi di antaranya Belanda, Bangladesh, Korea Selatan, Singapura, Hongkong, Jepang, Dubai, Makau, Manaco, Mumbai, Selandia Baru, dan masih banyak lagi. Penggunaan kawasan reklamasi juga bermacam-macam, ada yang untuk memperluas pelabuhan laut, membuat pelabuhan udara yang baru, kawasan bisnis, maupun kawasan pemukiman.

Mengapa reklamasi diperlukan? Menurut Otto, pertama dengan reklamasi akan diperoleh lahan baru yang siap dilakukan pembangunan fisik. Kedua sebagai cara tepat tindakan perlawanan dari erosi pantai yang semakin cepat. Ketiga, reklamasi akan memberi peluang kerja, baik pada saat sebelum, sewaktu, maupun setelah dilakukan pembangunan sesuai rencana dan kemampuan yang ada.

Keempat, reklamasi akan dapat mengubah lahan setempat menjadi lebih terencana, tertata, terbangun, menambah kemanfaatan, serta lebih bersih, sehat, aman, dan nyaman, disesuaikan dengan tantangan sustainable development goals (SDG 2030). Kelima dengan reklamasi akan diperoleh lahan baru yang dapat digunakan sesuai keinginan dengan kualitas lingkungan yang umumnya lebih baik dibandingkan dengan keadaan aslinya.

Pertimbangan Reklamasi

Persoalannya, reklamasi di Jakarta Utara tidaklah sederhana, karena banyak permasalahan geologi, terutama geologi lingkungan, yang harus menjadi pertimbangan. Beberapa asek geologi lingkungan tersebut ada yang akan menjadi kendala terhadap reklamasi, bahkan tidak mustahil dapat memicu bencana lain yang lebih buruk.

Andriani dkk dalam makalahnya berjudul ‘Pertimbangan Kondisi Geologi Lingungan Jakarta Utara untuk Rencana Reklamasi’ di buletin Geologi dan Tata Lingkungan edisi Mei 2003, mengingatkan tentang beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam mereklamasi Jakarta. Makalah ini menyikapi Planning Workshop International Consortium 1996 yang menimbun garis pantai Jakarta sepanjang 32 km dengan luas lahan reklamasi 2.800 ha.

Beberapa pertimbangannya, pertama suplai sumber daya air dimana ada dua kemungkinan untuk mensuplai air bersih pada daerah reklamasi, yakni dari air permukaan dan air tanah. Dengan melihat kecenderungan pola tata ruang dimasa datang tidak banyak berubah, maka diperkirakan kualitas air permukaan dan air tanah dangkal tetap buruk. Itu berarti keduanya tidak bisa dipakai untuk mensuplai air daerah reklamasi.

Pilihan lainnya adalah air tanah dalam. Masalahnya dari berbagai studi, sumber utama turunnya muka pisometrik adalah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan oleh industri. Bila kebutuhan daerah reklamasi dipenuhi dari air tanah dalam, maka akan mempercepat laju penurunan  muka pisometrik. Berdasarkan kondisi tersebut, pilihan yang paling memungkinkan adalah mendatangkan air dari luar wilayah DKI Jakarta.

Kedua penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah berdampak pada kebutuhan material urug yang semakin besar. Dengan asumsi penurunan permukaan dasar laut daerah reklamasi dua meter, dan untuk menjaga daerah tersebut agar dua meter di atas air laut, maka diperlukan penambahan urugan material luasan daerah yang direklamasi dikalikan dua meter.  Asumsi jika luas reklamasi 2.800 ha, dibutuhkan tambahan material sebanyak 2.800 ha x 2 m = 56 juta m3.

Ketiga Banjir. Secara langsung kegiatan reklamasi tidak berpengaruh terhadap banjir, tapi jika desain kanal tidak tepat bisa mengakibatkan banjir di Jakarta. Logikanya, terjadi pengendapan di muara sungai yang menyebabkan penyumbatan pada muara (sediment clogging). Penyumbatan ini akan menghambat aliran sungai dari darat, sehingga rentan menciptakan genangan yang luas.

Keempat logam berat dan biogas. Keberadaan logam berat secara tak langsung akan mengganggu kegiatan reklamasi, terutama pada tahap pembangunan tanggul, pembangunan kanal, dan penggurugan.  Sedangkan biogas dapat menimbulkan ledakan gas dan pelepasan gas metan bila kantung-kantung biogas terganggu oleh kegiatan pemancangan tiang pondasi  atau pekerjaan dengan alat berat.

Kelima suplai material urugan. Jutaan meter kubik untuk reklamasi tidak bisa dipenuhi dari tanah di Jakarta. Pengambilan material dari dasar laut teluk Jakarta akan dijumpai hambatan misalnya harus mengupas lumpur sediman yang berada di lapisan pasir. Pengupasan ini akan menjadikan air keruh dan merusak terumbu karang yang ada. Karena itu, material untuk pengurugan harus didatangkan dari luar.

Keenam adalah keseimbangan lingkungan garis pantai. Kegiatan reklamasi akan mengakibatkan kegiatan pola arus dan pergerakan sedimen, sehingga dapat menimbulkan abrasi dibagian lainnya. Reklamasi yang akan menjorok dua kilometer dari garis pantai akan memicu terjadinya abrasi atau erosi pantai di wilayah pantai Bekasi dan Tangerang.

Bagi Jakarta, reklamasi bukan hal yang baru. Riza Rahardiawan mengungkapkan pada tahun 1980-an Pemprov DKI sudah melakukan reklamasi Pluit.  Kemudian tahun 1990-an dilakukan reklamasi untuk PLTU Muara Karang.   ‘’Alasan reklamasi itu adalah kelangkaan lahan di Jakarta dan pengembangan kawasan Jakarta Utara,’’ jelasnya.

Bahkan menurut Otto, reklamasi sudah dilakukan sejak abad kelima yang dilakukan oleh Mulawarman. Reklamasi juga aktif dilakukan pada jaman penjajahan Belanda (Sunda Kelapa, Kota, Tanjung Priok, Kemayoran), kemudian dimulai lagi pada masa akhir pemerintahan Presiden Sukarno, dilanjutkan jaman Presiden Suharto, dan berlanjut sampai sekarang.

Meski begitu ada beberapa hal yang menjadi catatan, khususnya untuk para geolog. Misalnya masalah geologi bawah permukaan dan permukaan, harus diketahui secara pasti karena menyangkut bagaimana suplai untuk air bersih juga untuk mengukur berapa kebutuhan material urugan. Sumber material urug, jenis material, karakteristik juga perlu menjadi catatan.

Berikutnya masalah geomorfologi. ‘’Terutama geologi bawah laut, dataran pesisir, pulau kecil, tombolo, dan okupasi mangrove,’’ katanya. Karena itu pula dinamika pantai berupa erosi, sedimentasi, longshore drift, updrift dan downdrift, serta degradasi vs agradasi harus pula memperoleh perhatian.

Hal lain mengenai hidrologi yang terkait dengan aliran permukaan, curah hujan, pengelolaan air, ketersediaan air tawar sehat, lahan basah alami, lahan basah buatan, air tanah dalam, back water impact tidak boleh terlewatkan bagi seorang geolog. Terkait dengan itu adalah bencana yang mungkin terjadi seperti amblesan, banjir, genangan, erosi, dan lain-lain.

Berikutnya adalah geologi lingkungan, ekologi, dan geologi teknik secara umum. Dampak negatif akan terekam di sini semisal hancurnya terumbu karang, kekeruhan perairan, serta perubahan substrat dasar. Proses geologi di mulut sungai perlu juga di waspadai, misalnya river mouth shoaling, river mouth closing, pembentukan beting, jenis sedimen , dan sebagainya.

Reklamasi sudah jamak terjadi di berbagai negara, hanya tantangan geologinya akan berbeda-beda. Dari sudut pandang  geologi, reklamasi di Jakarta Utara sangat memungkinkan, hanya saja berbagai kendala perlu diatasi seperti masalah penyediaan air bersih, masalah amblesan dan geologi lingkungan.  Dalam bahasa Otto, ‘’Reklamasi 90 persen yes!’’

Hanya saja faktor nongeologi seperti perijinan juga tidak boleh dilanggar, begitu pula dengan Amdal harus dilakukan dengan benar, sehingga tidak merugikan masyarakat secara umum.  Penyegelan tiga pula yakni pulau C, D, dan G, merupakan bukti bahwa reklamasi dilakukan secara sembrono karena melakukan reklamasi tanpa berbekal Amdal.@

reklamasi-map-by-jcdsbp

 

Catatan Workshop

Menyikapi masalah reklamasi di Jakarta, IAGI menyelenggarakan workshop dengan tema ‘Geologi Mengupas Reklamasi Pantura Jakarta’ pada 14 Juni 2016 di Jakarta. Rupanya tema worshop mampu menyedot perhatian geolog, sehingga dari target peserta 30 orang yang datang 48 peserta. Ketua panitia Imam Sadisun membuat catatan mengenai hasil worshop tersebut, berikut hasilnya:

Aspek‐aspek geologi yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan reklamasi:

Kondisi pantai dan teluk Jakarta (morfologi, sedimen, terumbu, dll):

  • Teridentifikasi adanya perubahan garis pantai Teluk Jakarta.
  • Persebaran energi yang membentuk pantai di Teluk Jakarta cukup unik, produk dari sedimentasi dari daratan, reworking, maupun kontribusi biota, dan gelombang laut serta sedikit bantuan pasut dan angin, sehingga membentuk endapan pematang pantai (beach ridge), chenier, dan swale yang unik.
  • Terdapat sedimen berwarna hitam di CBL (Cikarang Bekasi Laut).
  • Waspadai gangguan terhadap terumbu karang (terutama di Kepulauan Seribu) akibat peningkatan kekeruhan (partikulat), limbah (sampah dan kimia), defisit oksigen, dll.
  • Waspadai perubahan pola arus dan gelombang serta pola rob (kenaikan air laut) beserta siklusnya.

Pola erosi dan sedimentasi (berakibat pendangkalan) sepanjang pantai:

  • Pantura Jakarta maju 1 ‐ 2,9 m/tahun (sejak 6000 BP).
  • Dari bukti sejarah, reklamasi telah dilakukan sekurang‐kurangnya sejak abad 5 dan relatif menonjol di tahun 1967 di wilayah Ancol dan sekitarnya.
  • Saat ini delta sudah tidak berkembang lagi di Teluk Jakarta.
  • Sedimentasi di sisi timur Teluk Jakarta cenderung ke arah utara.
  • Waspadai adanya peningkatan banjir dan genangan air oleh back water impac

Daya dukung endapan permukaan teluk Jakarta:

  • Sedimen teluk Jakarta didominasi lempung‐lanau atau lumpur (mud) yang sangat lunak dengan daya dukung relatif rendah.
  • Waspadai adanya gas charged sediments (di tengah dan timur Teluk Jakarta).
  • Waspadai adanya pada endapan poligonal fault system sedimen relatif dangkal dan indikasi tektonik aktif pada endapan Kuarter.

Penurunan tanah (darat dan laut?):

  • Perhatikan dengan baik penyebab penurunan tanah (cenderung didominasi oleh konsolidasi alamiah dan pembebanan) yang mencapai 21,8 cm/tahun.
  • Harus dilakukan pemboran di laut dan pemasangan ekstensometer untuk memastikan ada tidaknya penurunan tanah.

Kebutuhan air bersih (air permukaan, air tanah, intrusi air laut):

  • Sebaiknya tidak menggunakan air tanah untuk kebutuhan air bersih di wilayah reklamasi.

Kebutuhan material reklamasi (sumber dan kualitas):

  • Perlu dilakukan kajian sumber‐sumber material reklamasi dengan jumlah dan kualitas yang baik.
  • Waspadai kerusakan lingkungan pada area sumber material reklamasi.
  • Rekayasa yang tepat terhadap ketersediaan material reklamasi yang cenderung memiliki kualitas kurang baik.
Artikel ini pernah diterbitkan di Berita IAGI Versi Cetak Edisi VIII/ Jun-Jul 2016 (Biro Media Internal IAGI)