News Details

  • 28-09
  • 2016

BERSEPEDA MENIKMATI BENTANG ALAM GUNUNG API TANGKUBAN PARAHU DAN SESAR LEMBANG

Bersepeda merupakan kegiatan olahraga yang sedang marak dilakukan di mana-mana, khususnya di Kota Bandung. Pada tanggal 24 September 2016, dalam suasana yang sangat sejuk dan berawan berkumpullah 105 orang dengan membawa sepeda yang siap untuk bersepeda di alam sambil belajar mengenai geologi. Ya, hari itu adalah hari pelaksanaan GIC Gowes Bareng Geolog (GBG) 7. Acara ini digelar sebagai "Pre-Convention Event" dari PIT IAGI dan Kongres GEOSEA 2016 yang akan dilaksanakan awal Oktober 2016. (red)

Di pagi hari itu semua orang mulai mengerumuni panitia untuk mengambil jersey dan setelah itu menaikkan sepeda ke atas mobil untuk dibawa ke Gunung Tangkuban Parahu. Sempat terjadi keramaian dikarenakan beberapa peserta yang merasa sudah mendaftar namun belum terdaftar, untunglah dengan sigap panitia langsung mendaftarkan dan mengikutsertakan peserta tersebut. Setelah pengambilan jersey dan pendaftaran selesai, peserta bersiap untuk briefing.

Tepat pukul 07:34 pagi WIB, semua peserta, dengan menggunakan transportasi yang telah disediakan panitia, rombongan mulai bergerak menuju Gunung Tangkuban Parahu.

gbg7-foto01

Gambar 1. Suasana saat daftar ulang dan pengambilan jersey peserta

gbg7-foto02

Gambar 2. Suasana briefing seluruh peserta GIC Gowes Bareng Geolog (GBG) #7 sebelum berangkat (atas) bersama para marshall (bawah)

gbg7-foto03

Gambar 3. Peserta GIC GBG #7 berfoto bersama sesaat sebelum memulai kegiatan

Gunung Tangkuban Parahu merupakan stop pertama dari perjalanan kami. Di sini semua peserta dikumpulkan di sebuah platform yang memungkinkan peserta untuk melihat geomorfologi sekitar Gunung Tangkuban Parahu dan tentunya Sesar Lembang yang menjadi salah satu primadona dari kegiatan bersepeda ini.

Di sini peserta mendengarkan penjelasan mengenai geologi dan morfologi sekitar Gunung Tangkuban Parahu. Penjelasan ini diberikan oleh Pak Budi Brahmantyo, geocoach GBG-7. Penjelasan geologi yang dipaparkan oleh beliau sangat berbeda dengan penjelasan geologi pada umumnya, mulai dari pemilihan kata, penggunaan istilah geologi serta analogi yang diberikan sangat mudah dicerna oleh orang awam sehingga peserta merasa seperti didongengkan oleh beliau.

Setelah menerima penjelasan geologi yang singkat nan padat dari Pak Budi, semua peserta, dengan menggunakan transportasi yang ada, bergerak turun ke area parkir bus dan mulai mempersiapkan sepeda. Di sinilah titik awal mulainya kegiatan bersepeda. Seperti biasa, sebelum keberangkatan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan mekanikal sepeda seperti rem, setang, tekanan angin ban, hingga sadel. Setelah persiapan selesai, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh Pak Asep, marshal penunjuk jalan. Kesenangan inipun dimulai !

gbg7-foto04

Gambar 4. Penjelasan mengenai geologi dan morfologi sekitar Gunung Tangkuban Parahu oleh Pak Budi Brahmantyo

gbg7-foto05

Gambar 5. Kemeriahan peserta ketika sampai di Gunung Tangkuban Parahu

gbg7-foto06

Gambar 6. Bergaya sebelum berangkat dari Gunung Tangkuban Parahu

gbg7-foto07

Gambar 7. Pembagian kelompok sambil melakukan pemeriksaan mekanik sebelum mulai bersepeda

Dari area parkiran bus, peserta turun ke arah selatan menuju portal hijau. Tetapi ternyata portal tersebut terkunci dan kuncinya ada di kantor Perhutani sehingga peserta harus mengangkat sepeda melewati pembatas setinggi pinggang yang memanjang di tepi gerbang hijau besar tersebut. Ya! Inilah rintangan pertama pada permulaan kegiatan gowes kami, entah rintangan apa yang akan datang lagi.

Pada malam sebelum dilaksanakannya kegiatan ini, daerah sekitar Bandung – Cimahi diguyur hujan deras yang kabarnya baru reda pada pukul 03.00 pagi WIB. Hal ini sangat membuat kami was-was, karena kemungkinan besar jalan yang akan dilalui rusak, dan hal ini sangat mengganggu. Namun sepertinya kekhawatiran kami hanya berhenti disitu, jalanan yang kami lalui hanya sedikit lebih basah namun tetap kokoh. Walaupun genangan air tetap banyak terbentuk, tapi itu semua hanya menambah keseruan kami bersepeda.

Jalan yang kami lalui sebagian besar sudah rusak oleh kegiatan motocross dan erosi air hujan. Untuk menghibur hati ketika bersepeda di rute yang menyebalkan seperti ini saya menganggap rute ini sebagai rute ‘braided stream’, karena jejak ban motocross yang saling potong memberi kesan teranyam yang mirip seperti bentuk khas braided stream. Saya katakan menyebalkan karena selain menjadi sulit untuk berkendara, jalan sudah licin serta berbatu ditambah lagi dengan jalan yang tergali oleh ban motor sehingga tidak jarang ada bekas galian ban yang tergenang air. Juga ada pohon tumbang, yang mungkin tumbang secara alami dan tidak disingkirkan oleh warga sekitar atau mungkin sengaja diletakkan oleh warga yang berfungsi untuk mempersulit motor yang lewat. Saya rasa hal ini menunjukan bahwa kehadiran motocross sudah mulai perlu ditertibkan karena cenderung tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Akhirnya sebagian besar dari kami melintasi rute ini dengan menuntun sepeda, atau sering disebut TTB – Tuntun bike, bukan MTB. Tetapi semua itu adalah bumbu dalam kegiatan gowes yang membuat acara ini semakin menarik.

gbg7-foto08

Gambar 8. Suasana rute awal gowes – dekat area parkiran bus

gbg7-foto09

Gambar 9. Mengantri dikarenakan rusaknya jalan karena erosi air hujan, demi safety.

gbg7-foto10

Gambar 10. Pohon tumbang, genangan air yang dalam dikarenakan rusaknya jalanan akibat aktifitas motocross.

Secara umum profil rute yang dilalui berupa jalan menurun dan kombinasi antara jalan lumpur basah, jalan berbatu besar – sedang dan tanah basah yang terganggu oleh aktifitas mobil land rover. Karena saat itu kegiatan GBG bersamaan dengan kegiatan kelompok lainnya yang menggunakan mobil land rover, sehingga jalan menjadi sangat hancur. Sedih rasanya melihat trek lam yang rusak.

Setelah melalui rute braided stream kami melanjutkan perjalanan menuju arah Gunung Putri. Seharusnya kami sempat berfoto di benteng, namun karena hujan deras tiba-tiba turun, kami menyegerakan pergerakan. Luar biasa sekali cuaca hari ini, sudah hujan deras semalaman, siangnya hujan deras lagi. Hujan sempat berhenti ketika saya mencapai puncak bersama Pak Ibnu (peserta). Kemudian setelah diikuti oleh kedatangan Pak Asep (marshal penunjuk jalan), hujan mulai turun kembali, namun kali ini lebih deras dari sebelumnya, dengan segera kami semua melanjutkan perjalanan karena menghindari risiko bahaya tersambar petir.

gbg7-foto11

Gambar 11. Benteng yang seharusnya dikunjungi – suasana saat survey bersama marshal

gbg7-foto12

Gambar 12. Jalan yang rusak karena mobil

gbg7-foto13

Gambar 13. Hujan deras membasahi sekitar Gunung Putri

gbg7-foto14

Gambar 14. Pemandangan puncak Gunung Putri menjelang hujan.

– habis balapan ke puncak sama Pak Ibnu, dan hasilnya kalah T_T

gbg7-foto15

Gambar 15. Lokasi dongeng geologi ke-2 sebelum hujan (lokasi: Tugu Sespimpol – Puncak Gunung Putri)

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, dikarenakan hujan maka cerita geologi tidak memungkinkan dilakukan di puncak Gunung Putri. Maka diambillah lokasi alternatif yaitu di jalur batu sekitar lereng Gunung Putri. Di sini sambil berbasah-basahan, semua peserta dengan setia mendengarkan pemaparan mengenai Sesar Lembang, sejarah Gunung Sunda yang merupakan induk Gunung Tangkuban Parahu dan sedikit edukasi mengenai mitigasi bencana gempa. Dongeng geologi di titik ini berlangsung cukup lama, tanpa terasa hujan sudah reda dan cuaca menjadi cerah kembali.

Setelah pemaparan selesai dilakukan, para peserta makan siang di areal SPBU di selatan Gunung Putri. Saat makan siang wajah semua peserta langsung menjadi berseri-seri, memang makan apapun akan nikmat setelah kedinginan dan energi habis. Namun panitia punya kejutan setelah makan siang ini.

gbg7-foto15a

gbg7-foto16

Gambar 16. Cerita mengenai Sesar Lembang di sekitar Gunung Putri – dipindahkan dari puncak Gunung Putri

gbg7-foto17

Gambar 17. Lokasi makan siang peserta

Setelah makan siang seluruh peserta segera menuju Gunung Batu. Melalui jalan kecil aspal yang berada di sebelah kiri toko swalayan Indomaret, peserta melaju perlahan karena perut yang sudah kenyang. Beberapa meter setelah jalan kecil tersebut peserta disuguhi jalan turunan berbatu, kemudian dihadapkan pada tanjakan terjal. Sekitar 80% peserta memilih untuk TTB dalam menembus rute tanjakan ini. Kesulitan utama melintasi rute ini adalah apabila tidak diimbangi oleh kayuhan pedal yang cukup cepat dan bobot badan kedepan untuk keseimbangan maka ban depan sepeda akan cenderung bergerak naik/terangkat – jumping dan membuat sepeda kehilangan kendali.

gbg7-foto18

Gambar 18. Tanjakan ‘Sampah’ setelah makan siang…maaf ya para peserta, supaya ada cerita…

Setelah diberi kejutan berupa tanjakan pendek namun terjal, peserta masuk kembali ke jalan raya dekat Sekolah Staf dan Pimpinan POLRI (SESPIMPOL). Kejutan dari panitia belum berhenti di sini. Karena dari jalan raya ke arah Gunung Batu harus dicapai dengan mendaki dan jarak yang ditempuh lebih panjang dari tanjakan sebelumnya, para pesertapun menempuh tanjakan ini dengan sabar.

Orang bilang,” Pain is only temporary, but glory last forever.” Mungkin itu ungkapan yang cukup menggambarkan suasana hati ketika berhasil melewati tanjakan ini. Memang ini bukan tanjakan yang epic namun tetap saja melelahkan, and yes, it’s quite painful. Sesampainya di Gunung Batu semua peserta disuguhkan pemandangan tebing Gunung Batu dari jarak dekat. Bagi orang awam, ini hanyalah seonggok tebing batu cadas, namun dengan dibumbui oleh penjelasan geologi dan sedikit cerita, tebing cadas yang tidak menarik menjadi sebuah monumen alami yang menjadi bukti adanya bahaya besar yang sedang tertidur di dekat kita. Pak Budi bercerita bahwa Gunung Batu ini merupakan bagian dari Sesar Lembang, sementara tempat kita semua berpijak saat itu merupakan bagian yang mengalami pergerakan.

Penjelasan ketiga ini menandakan bahwa kegiatan telah sampai pada akhirnya. Syukur alhamdulillah tidak ada peserta yang mengalami cedera yang berarti. dengan demikian secara keseluruhan acara sudah berjalan lancar. Satu hal yang tidak sempat terlaksana, yaitu penutupan acara di museum geologi. Ini dikarenakan hujan deras yang mengguyur peserta sehingga cukup merubah suasana. Dan juga karena saat peserta mencapai Gunung Batu waktu sudah menunjukan pukul 13:00 WIB. Jadi keputusan untuk menutup GBG-7 di Gunung Batu adalah pilihan yang terbaik untuk semuanya.

gbg7-foto19

Gambar 19. Dongeng geologi terakhir di Gunung Batu Lembang

gbg7-foto20

Gambar 20. Keceriaan saat ditutupnya acara GBG 7 di Gunung Batu Lembang

gbg7-foto21

Gambar 21. Suasana saat penutupan GIC GBG-7 – Cyclexplore Tangkuban Parahu Volcano and Lembang Fault

gbg7-foto22

Gambar 22. Rute yang dilalui oleh sepeda

gbg7-foto23

Gambar 23. Foto bersama khusus marshal - Fotografer: Yogie Subrata (ITB)

Kiri-kanan

  • Usman Muthalib (Fisika ITB) – Marshal pemandu 1
  • Fajar Handyono (Geologi ITB) – Marshal pemandu 3
  • Rosa Ipantani (Geodynamics ITB) – Marshal penyeberangan jalan
  • Terry Alfa Furqan (Geologi ITB) – Marshal pemandu 4
  • Budi Brahmantyo (Geologi ITB) – Pemateri
  • Cian Ruswidianto (Arsitektur ITB) - Marshal pemandu 2
  • Asep Hidayat (Geologi ITB) – Marshal pemandu utama
  • Asep ‘bengkel’ (Pemilik Bengkel Sepeda di Lembang) - Marshal mekanik
  • Betha Sidik (Geologi ITB) – Marshal sweeper
  • Aris Priyandoko (Geodesi ITB) (sedang mendaratkan drone) – Marshal Dokumentasi + Pilot Drone
  • Yang hijau = penyusup :D

Terima kasih

Cimahi, 27 September 2016

gbg7-foto-penulis

Terry Alfa Furqan