News Details

  • 14-02
  • 2017

GEOLOGI DI TENGAH GENCARNYA INFRASTRUKTUR

’Geologist not only about exploration and exploitation of resource. We also serve nation by supporting best infrastructure.’’ Itulah kalimat penutup dari presentasi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang disampaikan oleh Dirjan Bina Marga Arie Setiadi pada perhelatan GIC 2016 di Bandung Oktober silam. Sebuah untaian kalimat yang mengingatkan bahwa peran geologi dalam pembangunan infrastuktur sangatlah strategis. Sejauh ini geologi memang identik dengan eksprorasi dan eksploitasi bidang migas dan minerba. Sampai tahun 2000an orientasi mahasiswa setelah lulus ingin bekerja di kedua bidang itu karena menjanjikan penghasilan yang jauh di atas rata-rata. Hasil dari riset kecil-kecilan di sebuah perguruan tinggi menunjukkan kecenderungan tersebut. Kini ketika dalam beberapa tahun terakhir harga migas dan minerba merosot, mulai ada lirikan ke bidang lain, termasuk geologi teknik. Apalagi pemerintahan Jokowi ini menempatkan pembangunan infrastuktur sebagai prioritas. Ditambah lagi jumlah prodi geologi yang meningkat drastis sehingga lulusan geologi menumpuk yang tentu saja tak mungkin tertampung di industri migas dan minerba. Kesempatan berkarier di geologi teknik menjadi kian terbuka manakala menteri pekerjaan umum adalah lulusan geologi. Ada nuansa berbeda ketika posisi tertinggi di kementerian PPUPR dikomandani seorang geolog. Peran ilmu geologi yang sebelumnya seakan berada di area pinggiran, kini ditarik ke tengah. Geologi sudah dijadikan poros keberhasilan pembangunan infrastruktur. Geolog menjadi kunci keselamatan bangunan infrastuktur. Dibangunnya bendungan Jatigede yang sudah mangkrak puluhan tahun, selain karena instruksi dari Presiden Jokowi, tidak lepas pula dari nyali Menteri PUPERA. Selama ini salah satu faktor yang membikin ‘takut’ adalah keberadaan sesar Baribis yang melewati bendungan tersebut. Bagi menteri Basuki, keberadaan sesar bisa disiasati berdasarkan kajian ilmiah dengan meminimalisir risiko yang mungkin ditimbulkan oleh sesar tersebut. Benar bahwa kenyataan selama ini tak sedikit infrastruktur yang rusak karena mengabaikan kondisi geologi. Ambruknya bangunan wisma atlet di Hambalang misalnya, lepas dari masalah korupsi yang membelit, daerah tersebut secara geologi kurang layak untuk pembangunan gedung. Batuan dasar berupa lempung yang menjadi bidang gelincir terjadinya longsor tanah. Begitu pula jalan Tanjung Redeb di Kalimantan Timur. Karena kajian geologi diabaikan akhirnya jalan tersebut ambles dan sebagian patah, setiap tahun membutuhkan miliaran rupiah untuk memperbaikinya. Gerakan tanah yang aktif terus merusakkan infrastuktur jalan. Padahal jika sejak awal problematika geologi menjadi pijakan, hancurnya prasarana jalan itu bisa diantisipasi dengan baik. Contoh paling fenomenal adalah jebolnya bendungan ST Fransiskus  pada 1928 di Kalifornia Amerika Serikat. Bendungan itu runtuh sehingga menggelontorkan 24 juta meter kubik air menyapu Lembah Santa Clara. Kota Santa Paula terkubur sampai enam meter, tersetat 450 meninggal termasuk 42 anak sekolah. Penyebab runtuhnya bendungan karena diabaikannya kondisi geologi dimana bendungan berada pada wilayah paleomega landslide. Peran geologi sangat vital dalam pembangunan infrastuktur. Dari analisis kondisi geologi hasilnya akan memberikan kesimpulan apakah bangunan infrastruktur itu tetap dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan bagaimana strategi meminimalisir risiko, di sini geolog akan memberikan masukan kepada ahli teknik sipil sebagai pelaksana pembangunan. Dalam basis analisis, selain faktor daya dukung tanah, fenomena geologi juga menjadi faktor krusial, misalnya apakah daerah tersebut merupakan wilayah gempa, atau daerah patahan, atau bagaimana jenis batuan dan struktur stratigrafinya, dan sebagainya. Kajian tersebut menjadi bekal untuk merancang bangunan yang kelak tahan terhadap fenomena geological hazard. Geolog dengan spesifikasi apa yang menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur? Basuki membuat daftar ada 28 profesi yang menjadi spesialisasi geolog, dua di antaranya yang paling dekat dengan pembangunan infrastruktur yakni engineering geologist dan geotechnical geologist. Dalam perspektif keteknikan peran geologi berada pada posisi antara melihat ke belakang dan merancang ke depan. Maksudnya, geolog akan melihat kebelakang untuk mengetahui bagaimana proses geologi di daerah tersebut, sekaligus juga melihat ke depan bagaimana merancang rekayasa (looking back at geologic processes and forward to engineering products) Geologi juga menjadi salah satu faktor penting sejak sebelum pekerjaan kontruksi sampai pada berlangsungnya pembangunan kontruksi, apakah itu di bawah permukaan tanah atau di atas tanah. Termasuk juga menentukan dan memahami material bumi yang ada di wilayah tersebut. Menjadi tugas berat bagi geolog karena untuk mengurangi dampak bahaya geologi terkadang harus berlawanan dengan kepentingan manusia. Indonesia yang berada pada sabuk vulkanis (ring of fire) sejatinya sudah akrab dengan geological hazard. Hampir seluruh tempat di Indonesia juga lekat dengan potensi bencana, sehingga bisa dikatakan bahwa di seluruh wilayah pembangunan infrastruktur terancam bencana geologi. Karena itu peran geolog sangat strategis dan menjadi kunci dalam pembangunan infrastruktur. Belajar dari Kasus Hambalang Para koruptor pada proyek Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) sudah masuk bui. Dan proyek yang menelan dana Rp 2,1 triliun itu kini terbengkelai. Bukan saja karena dananya telah dikorupsi, tetapi juga lantaran pembangunan komplek tersebut tidak memperhatikan faktor geologi. Terbukti dua bangunan yakni Lapangan Indoor dan Power House ambruk karena tanah pijakannya amblas dua hingga lima meter. Beberapa lama kemudian Menteri PUPERA Basuki Hadimuljono lantas membuat tim audit teknis dari pakar pakar termasuk pakar geologi dari ITB, UI, dan UGM untuk meneliti secara keseluruhan bangunan di Hambalang. Tiga aspek yang diteliti yakni  dari segi geologi dan geologi teknik, dari segi gerakan tanahnya, dan dari segi aspek bangunannya. Beberapa hasil kajian yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa Hambalang berada di Formasi Jatiluhur yang berupa clay shale (batu lempung yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis). Sifat mekanis clay shale ini ketika kering akan menyusut dan mengeras, tapi ketika basah akan mengembang, sehingga clay shale ini digolongkan tanah ekspansif. Pada kondisi basah, batuan ini kehilangan gaya geser sehingga penurunan tanah  bisa terjadi tiba-tiba. Dengan kondisi geologi seperti itu, pondasi bangunan tidak bisa berada pada clay stone. Karena itu ketika bangunan proyek Hambalang ini didirikan di lapisan batuan tersebut, keruntuhan bangunan sudah terjadi. ‘’Harusnya pondasi sampai pada batuan basement,’’ kata Basuki. Perlu diketahui juga bahwa daerah Hambalang menurut Badan Geologi merupakan zona merah yang tidak boleh dihuni. Ambruknya bangunan di proyek Hambalang menunjukkan bahwa kajian geologi sangat penting untuk pembangunan infrastruktur. Kondisi geologi harus menjadi pertimbangan utama, tidak bisa diabaikan. Dari kajian tersebut, kondisi geologi yang ada bisa disiasati, tetapi bisa juga sama sekali tidak bisa diajak kompromi.@ Catatan:  Artikel pernah terbit di Berita IAGI Edisi Okt 2016